Ads 468x60px

Kamis, 08 September 2011

Gelar Doktor HC Raja Arab; Menggugat Rektor UI

Main. Hampir semua masyarakat sudah tahu tentang pemberian gelar Doktor HC pada Raja Abdullah oleh Rektor UI, Gumilar Rusliwa Sumantri di Istana Safa, Jeddah pada 21 Agustus 2011 yang lalu. Ini menjadi polemik dalam masyarakat karena 2 hal utama. Pertama, gelar ini diserahkan tidak di Indonesia, khususnya UI sebagai penggagas. ini melanggar Surat Keputusan (SK) Rektor Universitas Indonesia (UI) No. 1312/ 2008. Kedua, sang penerima gelar tidak menyerahkan karyanya kepada Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), dalam hal ini pak Muhammad Nuh untuk disetujui kepatutannya. Ini termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.43/ 1980. Ditambah lagi, hubungan antara negara kita, Indonesia masih hangat terkait pemancungan tenaga kerja kita, Ruyati di Arab Saudi.

Sebuah kebanggaan bagi penulis pernah mencicipi bangku kuliah di Kampus Rakyat ini dan menggunakan Yellow Jacket. Saya adalah alumni DIII Sastra Arab FSUI 1994-1997 dan Ekstensi Komunikasi Massa FISIP UI 1999-2004. Saya juga pernah menjadi menjadi mahasiswa di S1 Sastra Prancis FSUI 1995. Saya juga aktif dalam berbagai organisasi kampus, seperti Teater Sastra, IKPD-FSUI, IJBAB, HMPE hingga Senat Mahasiswa. Pengalaman yang cukup untuk menikmati segarnya udara demokrasi kampus.

Tapi sekarang? Dari yang saya dengar dan tidak rasakan langsung, semua itu telah berubah. Apalagi sejak terpilihnya rektor baru yang tidak lagi melalui seleksi dari tingkat guru besar dan senat akademik melainkan langsung oleh Majelis Wali Amanat (WMA) ditambah campur tangan Mendiknas. Ini mungkin membuat rektor tidak merasa memiliki ikatan emosional yang kuat dengan akar rumput. Sehingga dapat berbuat semaunya sendiri, seenak'e dhewek. Saya tidak mau terlalu jauh membahas sepak terjangnya, tapi lebih menyoroti pada masalah yang saya kemukakan di awal. Meskipun mungkin ini hanyalah puncak gunung es dari semua masalah yang sudah terjadi sebelumnya.

Selama 3 tahun terakhir, UI telah memberikan gelar Doktor HC kepada 9 orang tokoh di bidangnya masing-masing. Namun, hanya 3 orang yang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI). Mereka adalah: Taufik Ismail, Taufik Abdullah dan Baharuddin Jusuf Habibie. Siapa yang tak bergetar hatinya, mendengar Taufik Ismail membaca syair dan sajak? Wajar bila UI mengganjarnya dengan Doktor HC bidang Sastra di awal 2009. Lalu, tiada yang meragukan kepakaran Taufik Abdullah dalam perjalanan sejarah Indonesia. Benar bila UI memberikan kehormatan kepadanya sebagai Doktor HC bidang Sejarah di tahun yang sama. B.J. Habibie? Saya tidak usah bicara banyak! Mantan Presiden RI ini sudah terkenal di Eropa bahkan dunia dengan Filsafat Teknologinya. Hal tepat bila beliau dikaruniai Doktor HC di bidang tersebut kepadanya.

Kemudian, 3 gelar berikutnya jatuh kepada para pakar di bidangnya, yaitu: Prof. Daisaku Ideka di bidang Filsafat dan Perdamaian, Isidro Aguillo Cano di bidang sistem Informatika dan Prof. APM. Heintz di bidang pengobatan humanistik. Sedangkan 3 gelar lain jatuh kepada kepala pemerintahan/ kepala negara-negara sahabat yang saya sendiri ragu dengan dedikasi mereka. Untuk Abdullah Gul, Presiden Turki dengan reformasi politiknya masih sedikit wajar. Tapi bila Sultan Hassanal Bolkiah diberikan gelar Doktor HC di bidang Kemanusiaan dan Peradaban, apa kita tidak bertanya-tanya? Dan, yang terakhir yang paling kontroversial adalah untuk sang raja padang pasir, Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud! Mau tahu bidangnya? Perdamaian Internasional dan Kemanusiaan!

Pasti kita semua langsung berpikir dan tak tahan untuk berujar, orang ini berjasa dalam perdamaian negara mana? Lalu hal kemanusiaan apa yang telah dilakukannya, khususnya untuk orang Indonesia (seraya kita menitikkan air mata membayangkan penderitaan saudara-saudara kita TKI disana)? Malu saya, kalau sampai pertanyaan ini dilontarkan kepada kampus dimana saya dulu menuntut ilmu. Ditambah lagi, menurut Ade Armando dalam surat terbukanya, 6 September 2011 via BBM bahwa keputusan pemberian gelar ini tidak pernah disampaikan apalagi dikonsultasikan dengan MWA dan Senat Akademik. Wow... Bukankah ini pertanda pemimpin yang otoriter dan mengabaikan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas? Mungkin hanya Rektor UI yang bisa menjawab. Bagaimana, pak?

Saya, alumni lainnya dan segenap civitas akademika hanya bisa berdoa supaya UI dapat selalu menjadi Mercusuar yang dapat menerangi sekelilingnya, memberi manfaat bagi seluruh masyarakat bukan menjadi Menara Gading yang hanya dikuasai segelintir orang demi hasrat dan kepentingan pribadi. Amin!

2 komentar:

Kiki Alfatih mengatakan...

keren..artikel popular

bangwz mengatakan...

lah gak penting ,gelar apa'pun sama z yang pentig keahlian. gak pnya gelar juga gw bisa ngasih sendiri ,tau kalo buat untuk posisi di strara sm jabatan mungkin penting. tapi gak ngaruh dch ..../@

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...