Kali ini saya tidak bercerita detil tentang lokasi wisata dan makanan atau minuman enak. Saya tetap pergi ke sebuah kota, tapi bukan untuk jalan-jalan dan wisata kuliner. Tapi untuk menghadiri Pertemuan Nasional (Pernas) AIDS di Yogyakarta pada awal Oktober yang lalu. Dalam sebuah sesi, pemateri memberikan 3 pertanyaan menarik yang membuat semua hadirin tersentak. Pertanyaan-pertanyaan sederhana namun merubah perspektif kami semua tentang ODHA (orang yang hidup dengan HIV/ AIDS).
Pertanyaan pertama, adalah: “Jika tiba-tiba ada orang yang tidak anda kenal mendatangi anda dan mengatakan saya adalah ODHA, apa tanggapan anda?”. Sontak ruangan menjadi ramai, semua orang mengemukakan pendapatnya silih berganti. Ada yang bilang merasa bingung, acuh tak acuh, marah, pergi begitu saja dan banyak lagi. Kesimpulannya, mayoritas hadirin merasa tak peduli dan tak menganggap hal itu adalah urusannya. Jawaban saya sendiri merupakan keingin tahuan terhadap orang tersebut sehingga saya akan bertanya “Kenapa anda menjadi ODHA?” Pemateri hanya tersenyum.
Pertanyaan berikutnya, “Jika pada suatu hari orang yang anda cintai (bisa pacar, suami, istri, orang tua, anak, adik, kakak dan keluarga) mengatakan bahwa mereka adalah ODHA, apa tanggapan anda?”. Kini ruangan begitu bergemuruh, hampir semua hadirin bersuara lantang. Ada yang bilang pasung, kucilkan, marahi, jangan akui sebagai keluarga hingga yang paling menyakitkan usir atau ceraikan. Jawaban saya sendiri adalah memeluknya, memintanya duduk dan mengambilkan segelas air putih sambil menunggu dengan sabar apalagi hal yang akan diceritakannya. Pemateri lagi-lagi hanya tersenyum.
Pertanyaan terakhir, “Jika anda mengidap HIV positif/ AIDS dan anda harus mengakui kalau anda ODHA kepada orang yang anda cintai (bisa pacar, suami, istri, orang tua, anak, adik, kakak dan keluarga), apa tanggapan yang anda harapkan?”. Kini ruangan berubah menjadi lebih sunyi, hanya sedikit orang yang mengeluarkan pendapat. Mereka ingin tetap dipeluk, disayang, dicintai, diperhatikan dan diyakinkan kalau semua akan baik-baik saja. Itupun dengan terbata-bata. Mereka tidak menyangka kalau pertanyaan terakhir akan seperti ini. What a Shock Therapy! Air muka mereka pun sebagian besar berubah. Pemateri dengan tetap tersenyum memecah kesunyian dengan pertanyaan “Kenapa jawabannya berbeda?”
Setelah hening beberapa saat pemateri kembali berkata yang menenangkan, memberikan penjelasan bahwa selama ini perspektif hampir seluruh masyarakat Indonesia masih keliru (kalau tak mau dibilang salah) tentang ODHA. Ini dibuktikan dengan beragam jawaban terhadap pertanyaan pertama dan kedua. Seperti itulah pola pikir yang berkembang hingga saat ini. Hampir semuanya negatif. Sedangkan jawaban pada pertanyaan terakhir lah yang ideal. Jawaban seperti itu lah yang diharapkan oleh para ODHA keluar dari mulut kita.
Karena menurut hemat saya, untuk menerima kenyataan bahwa dirinya mengidap HIV positif/ AIDS saja sudah sangat berat bagi para ODHA. Apalagi, mereka harus mengakuinya di hadapan orang lain, meskipun itu adalah orang-orang terdekatnya. Sulit untuk memiliki keberanian seperti ini, kepercayaan diri untuk bicara jujur tentang kondisi buruk kita kepada orang lain. Meskipun memang, yang menyebabkan mereka menjadi ODHA tidak melulu hal buruk, seperti Narkoba dan Seks Bebas. Sehingga bahkan orang tak berdosa pun ada kemungkinan terjangkit HIV/ AIDS. Dari orang tua kepada anak, misalnya.
Sebagaimana kita ketahui bersama, HIV/ AIDS juga dapat menular melalui benda-benda yang tercemar oleh darah yang mengandung virus HIV, seperti jarum suntik, gunting, silet, pisau cukur. Sehingga bila tidak steril HIV bisa ditularkan di salon kecantikan, tempat membuat tatto dan piercing bahkan rumah sakit. Karena, HIV pun bisa ditularkan melalui transfusi darah. Inilah yang terkadang belum kita ketahui dan pahami. Entah karena komunikasi, informasi dan edukasi yang kurang dari pihak-pihak yang kompeten atau memang kita yang terkadang tidak mau membuka mata, hati dan pikiran kita. Pertanyaannya, siapa yang menjamin kita akan bebas dari virus ini?
Sahabat, karenanya kita harus memiliki empati yang tinggi terhadap para ODHA. Mereka adalah saudara, sahabat atau bahkan keluarga kita. Empati berarti mencoba merasakan hal yang sama dengan apa yang mereka rasakan. Memperlakukan sebagaimana diperlakukan. Bila para ODHA mau dan mampu membuka jati dirinya, kini sebaliknya tanggung jawab kita menjawabnya dengan kepedulian, perhatian dan kasih sayang. Bukan justru dengan hujatan, hinaan dan caci maki. Bukalah tangan kita! Marilah membuat diri kita lebih berarti bagi mereka, sebagaimana mereka mencoba mengisi sisa-sisa hari mereka dengan hal-hal bermakna.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
Salam kenal,
Sesama peserta GoVlog yah
nice post
:D
kunjungi balik yah. :)
Kami dari Admin GoVlog, perlu meminta data diri Anda yang mengikuti GoVlog AIDS. Data diri ini kami pergunakan untuk pemberitahuan jika Anda terpilih menjadi 10 besar.
Nama Lengkap:
Jenis Kelamin:
No tlp/HP (yang bisa dihubungi):
Email:
Yahoo Messenger:
Alamat lengkap:
Pekerjaan:
Mohon data diri Anda dikirim ke email tommy.adi@vivanews.com
Terimakasih
@Habiblubis: Salam kenal juga. Saya kunjung balik ya nanti...
@Tommy: Sudah saya jawab lengkap di email. Terima kasih kembali.
Posting Komentar